Kamis, 02 Juni 2011

Cerpen 05.03.2004

05.03.2004: 06.00 - 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Mas Ari, seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet, adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang...

05.03.2004 : 09.00 - 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang. Anganku terbang ke dunia lain. Saat ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah, dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya, "Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!"
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan suara serak kernet berteriak-teriak, "Boyo...Boyo...Joyoboyo... kiri... kiri!" Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.

05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota menuju terminal kota Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di dalam angkutan kota itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya. Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya.
"Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku tidak akan membuatmu menderita," begitu ia menawarkan asa di tengah keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu. Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata "ya"? Apakah aku dalam kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak mampu berkata "tidak". Juga seperti monster yang menarikku amblas sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap "ya". Aku cuma merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya... rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta. Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya. Padahal uang di dompetku tinggal lima puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat apa di belantara Jakarta yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
"Aku Ian," begitu ia memperkenalkan diri dengan hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
"Aku Metta," rasa nyaman yang hangat itu membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu, betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk menerimanya.
Salahkah aku?
Ya... rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah --laki-laki yang menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan, sampai... ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan kemungkinan terburuk: "berjalan sendiri"! Laki-laki itu duduk tanpa menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang, dan rasa asa.
"Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di sisiku. Aku sayang sekali padamu..."
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Kau laki-laki kesepian... Kau hanya butuh perempuan untuk ditiduri...," sahutku setengah geli acuh tak acuh.
"Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk ditiduri," ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, "Bolehkah aku memeluk dan menciummu?"
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku. "Ah... kamu wangi. Aku suka wangimu," ujarnya ketika menghirup udara di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku. Ajaibkah?
"Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku," kudengar bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God...!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan, halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta, sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti...

05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung, meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
"Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami menikah di gereja," ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
"Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu," apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
"Tidak mungkin."
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah.....
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox...

05.03.2004 : 22.00 - 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi. "Lupakan saja... laki-laki itu menipumu...", begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...laki-laki itu tidak menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!

06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... bercinta dengan bayang-bayang sepanjang malam!

Rumah-Rumah Menghadap Jalan

Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran, berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan, ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi ia tahu, tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang rawa-rawa. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan rumah-rumah baru pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu. Tentu dengan harga tanah yang lantas mengharu-biru!

Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama, yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya sesekali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di utara, dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak. Cabai yang ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang membacakan daftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar miring di sudut dinding. Alamat menunggu busuk atau hancur.

Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di antaranya laki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang terbelintang legam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali kelok jalan dengan membayangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida terus merangkak naik di kios-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah mengantar anak-keponakan dan orang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke rantau-rantau abadi, tak pulang lagi. Dan betapa malang dia yang ditinggalkan…
***
DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang memanggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung, orang memilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah cukup merujuk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri, termasuk para tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani kakek sampai setengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar keluh-kesah dan aliran lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.

Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada tekong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku ditinggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang adikku yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu itu, nenek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri, perempuan kasih.

Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek yang suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada haru. Baginya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas, entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang kepergian yang kekal.

Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku --yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan-- akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu. Justru, setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan yang membawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
***
TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap jalan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh dalam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu.

Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi, pintu utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah yang justru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila kerinduan kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan penutu rumah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti tak henti menyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing!

Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan melewati jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering berkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas tentang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut pedati kakek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi pedati terdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau yang letih oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil yang keruh menetes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang jalur yang kami lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.

Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku jatuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku dengan bergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut dengan pedati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan menganggur, teronggok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik pedati dialihkan kakek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan kerikil lebih cepat. Biarlah pedati mengalah," kata kakek masygul. Kakek lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati; sarat beban di mana saja.

Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak ke rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin merajalela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat. Lihatlah, bukit-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering ikut dengan sebuah truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik empat atau lima kali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui, sambil bersorak gembira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat melihat bekasnya yang memerah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari pandangan karena gerak dan laju, jarak dan waktu. Sampai suatu ketika orang kampung menyetop truk kami, memperingatkan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa anak-anak kecil yang menjengkelkan seperti kami. Sejak itu, kami kehilangan dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh.

Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah gerangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok Sembilan". Bertahun-tahun kemudian aku tahu bahwa yang satu adalah terowongan batu di kaki bukit dan yang satu lagi adalah jalan dengan patahan tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asing dan barunya dengan kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai suara bis yang mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah tertegak di depan rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga siapakah yang bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama pergi? Bila yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke tepi jalan, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan perjalanan. Maka si perantau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung, sekadar menyapa atau bertanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita tentang orang kampung lainnya yang kebetulan satu rantauan.

Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika tetanggaku membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku membantu-bantu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga jelas aku tidak digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi rumah-rumah --menghadap jalan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu.

Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan rumah-rumah bagai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari sesak ruang, menatap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk pertama kalinya aku menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang pelabuhan penyeberangan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai membelakangi selat yang menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras dan legam?

Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang berderet membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali berjabat sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit dan melenguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang memang mesti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku menyeberang ke pulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di atas air, juga membelakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal yang terkelupas dan hancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air, dengan kaki-kaki tiang menyanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara kapal-kapal penarik kayu gelondongan dan kapal batubara yang terlihat seperti pulau hitam, aku sering tegak menatap kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam karatan lainnya di ujung sana, bergerak perlahan bagai waktu yang melarutkan diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning-kelabu karena kulitnya lepas atau terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini terbelintang bagai daratan kuning, sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dalam diriku.
***
JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya tercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama tempat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang hanya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti menyiratkan satu hal: "Jangan pergi!" Tapi di manakah ada kampung seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau harus kubangun sendiri di sebalik bukit kelabu? Aku tak tahu.

Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun! Makanan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang digantungkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu, dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus takjub. Laki-laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut dengan nama lengkapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi menghadap jalan.

Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri bahari ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat mencari ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus mengalir; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya, rumah-rumah di pantai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan legam!*

Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu kesayangannya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak itu ia memutuskan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya tak perlu berpikir ke utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan, tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan…."

Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam, hanya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat sebentar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang akan menguasai keadaan.

"Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang kawan sekerja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal.

"Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal selam yang bakal lewat!" seseorang lain menimpal.

"Ke bulan sekalipun!"
"Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!"
Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima. Di kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari jalanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap kanopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang. Tapi, aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon rubuh dan terbakar? Entah, entah…
Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!"
Samarinda-Yogyakarta, 2004-2005

Cerpen Sang Pengembara

CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.

"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"

"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.

Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.

Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.

Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.

Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.

Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.

Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.

Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.

Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri

kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan

mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.

Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.

Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.

Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.

Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.

Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.

Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.

Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.

Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.

Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.

Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.

Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.

Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.

Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.

Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.

"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.

Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.

Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?

"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.

Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.

"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.

"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.

Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.

"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.

Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.

"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.

Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!

Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.

"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.

Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.

Cerpen Makam Para Pembangkang

Jika engkau menyukai pendakian, engkau akan menjumpai aku. Bukit itu sangat dekat dengan nadimu. Tanpa engkau tahu, aku telah menunggumu sejak berabad-abad lalu. Datanglah, sebelum rindu cemasku membatu.

Engkau tak perlu menakar keberanianmu untuk menempuh pendakianmu. Engkau pun tak perlu memeras banyak keringatmu. Mungkin kau temui jalan sedikit berliku, tapi percayalah engkau akan disambut ramah bebatuan dan tanah. Di balik belukar, memang ada beberapa ular, namun engkau tak perlu khawatir. Mereka akan segera menyingkir sebelum engkau hadir.

Abad demi abad telah berpacu-berlari, namun bukit itu tetap ada di sana, hanya selapis tipis dari impianmu. Jika selapis impianmu bisa kau terobos, maka engkau akan sampai di sana: Bukit Bayang. Tak lebih dari 1.000 meter engkau mendaki. Tak akan ada rasa nyeri merajam kaki. Engkau tak perlu khawatir untuk tergelincir. Para petani yang membajak tanah dengan hati atau para peladang yang berdada lapang, telah menyediakan jalan setapak itu kepadamu. Juga pohon-pohon akasia dan kemboja telah menyediakan rindang pendakian.

Temuilah aku di bukit itu, sebelum rindu cemasku membatu, sebelum aliran darahmu membeku. Bukankah angin telah menyebarkan kabar itu kepadamu, hingga kerinduanku pun luluh dalam detak nadimu.

Hatiku pun terlonjak, saat angin dari utara mengabarkan kedatanganmu. Kau bawa jiwamu yang sepi dan menggigil. Kau bawa sumpah serapahmu kepada kota yang bengis, kikir dan rakus. Kau bawa seluruh lukamu. Masuklah engkau kepadaku, masuklah. Kujabat jari-jemarimu, kudekap gigil jiwamu. Kuhapus keringat jiwa lelahmu. Kupadamkan api amarahmu dalam kubangan kesunyianku yang menggenang berabad-abad.

Kurasakan getar jiwamu, saat engkau memasuki gerbang pemakaman bisu. Kurasakan pula degub jantungmu yang terpompa kecemasanmu.

Namun, engkau gagal menarik kakimu surut ke belakang. Engkau terus melangkah. Perlahan. Daun-daun kering akasia dan kemboja yang kau injak menjelma suara risik, hingga seluruh ruangan itu tergetar.

Engkau menatapku, menatap kami: tumpukan kaum batu putih terbalut lumut abadi: batu-batu nisan dan batu-batu yang menjelma benteng tanpa perekat, hingga begitu rapuh dan patah. Engkau mendekatiku, mendekati kami. Meraba. Menebak-nebak, entah untuk apa. Tapi aku suka.

Kau baca urat-uratku, urat-urat kami bangsa batu, hingga keningmu berkerut-kerut. Engkau penasaran, ingin tahu berapa usiaku. Dari lipatan ingatanmu%

Cerpen Mimpi Terindah Sebelum Mati

RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"

"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak, kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."

"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"

Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang menjelma nada indah tersendiri bagiku.

"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.

"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"

Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi, maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku. Kataku dalam hati.

AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.

Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani, lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.

Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau, Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku. Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?

Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih menarik daripada menghitung langit atau bintang.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat. Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis. ***

Cerpen Batu Domino yang Beradu

Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri.
Setelah segalanya seperti menyusut ke dalam gelap, dan menghadirkan bintik-bintik cahaya lampu, serupa ratusan bintang yang terapung di sepanjang pelabuhan, di sinilah surga mereka. Di mana lagi, selain kedai kopi tempat mereka kembali, tempat (seolah) mereka menemukan sebuah keluarga. Surga dapat dibangun di mana saja, dan dihuni oleh siapa saja, pikir mereka.

Keluarga adalah surga. Keduanya ada saat kita membuatnya ada. Dan mereka selalu merasa menemukan keduanya. Tak ada yang benar-benar merasa kehilangan, saat batu-batu domino mulai beradu. Kehilangan adalah cerita lain, yang sengaja diasingkan. Ia tak boleh hadir saat kesulitan-kesulitan hidup bagai mendesak dalam setiap detik waktu yang berjalan setiap hari. Mereka kuli. Kesadaran sebagai kuli harus ditanamkan dalam-dalam, supaya tak berkesempatan perasaan-perasaan busuk singgah dan menggoda mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk. Seorang kuli bukan seorang pencuri. Ini harus diyakini. Meski terkadang banyak mata yang memosisikannnya tak terlalu jauh berbeda. Tapi mereka tak ingin mengerti. Sebab tak cukup waktu untuk memahami dan mengerti tentang status, tentang kedudukan. Mereka merasa sebutan kuli sudah cukup memberi kepercayaan diri bagi mereka, dan itu lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran.

Lalu apa yang membuat status kuli menjadi tidak baik? Tidak ada. Ini negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, kuli jadi penghuni. Tidak percaya? Ribuan kuli di negeri jiran adalah akibat dari kemelimpahan kuli di negeri ini. Dan mereka, yang malam ini duduk membanting batu-batu domino di atas meja kedai kopi, tidak memilih jadi kuli di negeri orang. "Lebih baik jadi kuli di negeri sendiri," umpat mereka, saat seorang kawan membawa oleh-oleh berupa bekas sabetan rotan yang menggaris di punggungnya. Mereka seolah tak hirau pada sejumlah kawan lain yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa ikut menjadi kuli di negeri orang. Mereka hanya mencibir, "kalian tak malu jadi kuli di negeri orang?" Dan mereka pasti akan menutup telinga saat kawan-kawannya menjawab, "tak ada bedanya jadi kuli di negeri sendiri."

Dan malam, selalu jatuh tepat di pundak sungai ini, seperti seorang tua berjubah hitam, menyungkup kedinginan. Dan mereka, satu-satu datang, seperti bersepakat untuk bertemu, berkumpul di kedai kopi. Inilah saat pesta domino digelar. Membanting angka-angka keberuntungan. Teh telor, kopi ginseng, hemaviton, ekstrajoss, bir bintang, topi miring, ciu, kti, dan segala jenis minuman beralkohol adalah hidangan sebagai taruhan ringan. Dan percakapan adalah lintasan-lintasan pikiran yang tak jernih. Tak ada peristiwa yang selesai diperbincangkan dari mulut yang bau tuak. Mereka mengucapkan pukimak, pantek, tai, asu, dan sejenisnya, sebagai patahan-patahan emosi yang tak serius. Omong kosong, kebuntuan, ledakan, cemeeh, semua tak terencanakan. Yang tak terbiasa, dan datang dengan kejernihan yang normal, hanya akan mengotori telinga dan pulang dengan wajah yang memucat, dan segera menyadari bahwa ia asing dan terlihat aneh di lingkungan mereka. Dan percakapan yang tak selesai, acapkali harus diakhiri dengan perkelahian. Inilah egoisme yang sering muncul dalam kehendak untuk menang yang tak terkontrol. Gigi patah, muka lebam, lengan koyak, kepala bocor, hidung meler, adalah hal yang tak terhindarkan. Polisi ada, tapi menganggapnya biasa. Ia menjadi tradisi. Tidak akan pernah ada yang kalah, sebab setiap mereka merasa telah menang. Dan selesai. Malam berikutnya adalah surga, adalah keluarga. Mereka kembali, seperti batu-batu domino yang tak bosan untuk beradu…

Mungkin hidup yang dulu telah membuang mereka. Kini mereka sedang berada dalam pilihan hidup yang harus terlihat wajar sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Mereka sengaja membuang jauh ingatan lampau seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara, adalah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka saat ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan terkekang, dan hanya kembali menegaskan perasaan akan kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan. Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung tempat kelahiran mereka. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang, merasa tak diperhitungkan. Dan anak-anak yang terlahir dari sana adalah anak-anak yang menderita ketakutan akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak di bawah asuhan beruk-beruk di hutan karet. Anak-anak yang gemar memanjat batang kelapa, melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau berburu ketam atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba telah tumbuh menjadi seseorang yang telah siap dipekerjakan untuk menjadi kuli, menjadi anak buah tongkang berlayar gelap ke negeri orang. Dan yang memuakkan inilah, yang kini harus ditanggungkan. Maka tertawalah. Seperti seseorang yang baru saja menemukan dirinya sedang mencapai puncak kebahagiaan. Dan malam, adalah rumah tempat mereka melepas tawa, sebebas-bebasnya. Sebebas batu-batu domino yang beradu…

Dan tak ada satu malam pun yang luput. Hari-hari kehilangan nama-nama. Di tepian sungai, kedai kopi seperti mereguk malam demi malam, dan membiarkannya berlalu. Dan mereka adalah orang-orang yang juga dengan sengaja membiarkan segalanya berlalu. Hidup seorang kuli adalah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antarsuku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan, dan segala macamnya sudah terlampau akrab dalam telinga mereka. Dan kini tak ada urusan, selain menghitung keberuntungan dari angka-angka di batu-batu domino. Urusan di luar diri mereka adalah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir tentang bagaimana memenangkan taruhan saat bermain domino. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.

Tapi, apakah segala urusan memang benar-benar berada di luar diri mereka?
Seperti halnya yang terjadi pada malam ini. Seorang perempuan muda dengan perut yang membuncit, tiba-tiba datang tergesa-gesa dan memukulkan botol bir di kepala seorang kuli. Tak ada kalimat yang pantas, selain maki-hamun yang keluar berdenging dari mulut perempuan itu. Semua kuli di kedai kopi, tentu terpaksa berhenti tertawa. Sebuah urusan telah datang, dan masuk ke dunia mereka. Salah seorang kuli kini telah bocor kepalanya. Dan apa yang harus dilakukan oleh yang lain untuk urusan pribadi semacam ini? Sementara perempuan itu terus meracau meminta pertanggungjawaban, sambil entah berapa botol air mata pula yang tumpah berserakan di lantai kedai kopi. Seorang kuli yang bocor kepalanya, tentu timbul rasa malu, rasa kesenangannya terganggu, rasa kelelakiannya, egoismenya, yang bercampur dan beradu. Lelaki itu lalu menghayunkan baku tinjunya yang sebesar balok kayu mahang ke wajah perempuan hamil itu. Dan ia pergi, seperti seorang koboi yang baru saja melepaskan sebutir peluru dari pistolnya. Perempuan itu terkapar. Sebuah urusan telah membuat kedai kopi ini mulai menjadi neraka. Keluarga adalah neraka?

Malam berikutnya, seorang lelaki separuh baya, berbadan besar, tidak berkumis, datang membawa setumpuk kertas bon dan membantingnya di tengah salah satu meja di kedai kopi. Ada apa? Pastilah hutang. Ini urusan yang tak seharusnya datang saat malam belum lengkap memberikan kebebasannya. Seorang kuli yang merasa berhutang, seperti tak mampu menyembunyikan wajahnya dari yang lain. Dan tentu saja ini cukup menegangkan. Sementara di meja yang lain, batu masih terus beradu, tapi tanpa suara lengking tawa. Lelaki berbadan besar itu menghardik, melemparkan telunjuk ratusan kali tepat ke wajah seorang kuli. Lelaki mana yang tak naik darah saat dipojokkan di tengah banyak orang. Tapi ia memang telah berhutang. Dan hutang itu memang telah berkeliling pinggang. Dan rasanya butuh kekurangajaran yang lebih untuk bisa membalas hardikan lelaki berbadan besar ini. Tapi mulutnya kian terkunci. Tak ada kalimat yang mampu membentenginya dari semburan lelaki berbadan besar ini, selain sebuah tusukan pisau kecil di perutnya yang buncit itu. Dan darah kembali tumpah. Kuli berhutang itu bergegas pergi, seperti seseorang yang sedang terlambat untuk sebuah janji. Kedai kopi ini mulai ditumpuki sejumlah urusan.

Siapa yang menyangka jika malam berikutnya, seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut cepak datang bergegas dengan seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun. Malam ini kedai kopi kembali ricuh. Lelaki cepak itu langsung berteriak, "Mana kuli yang telah merampas uangmu, mana dia, mana!" Lelaki kecil berumur sepuluh tahun langsung menunjuk seorang kuli yang duduk merokok di sudut kedai. Tidak ada basa-basi, sebuah tendangan telak mengenai dada lelaki kuli itu. Dan karena melihat lawan sudah tampak terkapar, lelaki cepak pergi dengan menggeret tangan lelaki kecil, pergi seperti seorang pahlawan yang baru saja menunjukkan kehebatannya. Tapi siapa yang menyangka, jika keesokan siangnya, telah ditemukan seorang mayat anak lelaki berumur sepuluh tahun tersangkut di tiang pelabuhan. Dan kematian telah mengakibatkan kedai kopi ini berurusan dengan banyak hal. Para kuli kini harus mulai mengatakan bahwa mereka memang tak bisa terlepas dari segala macam urusan.

Sesuatu yang tak terduga pasti terjadi setelahnya. Tengoklah, puluhan orang berbondong-bondong dengan sebilah parang di tangan mereka. Orang-orang ini menjelma sebagai makhluk-makhluk yang beringas, menabuh genderang perang. Dan beruntunglah jika para kuli masih sempat memperpanjang nyawa mereka dengan berlari ke segala arah, melepaskan diri dari serangan segala urusan di luar diri mereka, yang rupanya kini tanpa disadari telah menjarah dan merangsek ke dalam tubuh mereka. Orang-orang merasa tak puas, karena tak seorang kuli pun yang berhasil mereka cincang, dan membawa serpihan dagingnya pada anak-anak mereka di rumah sambil mengatakan, "Ini kan orangnya yang telah mengganggu hidup kalian?" Ketidakpuasan itu harus dituntaskan dengan sesuatu yang lain. "Bakar! Bakar kedai kopi terkutuk ini!"

Siapakah yang paling merasa kehilangan?
Malam di tepian sungai ini, hanya sunyi yang jongkok di atas pepuing kedai kopi. Ia seperti seseorang yang jongkok menekur diri, sambil bergumam, "Tidak lebih baik menjadi kuli di negeri sendiri…"***
Pekanbaru, 2005

Cerpen Laki-Laki Sejati

Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?

Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan.

Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri.

Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.

Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani. Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui, tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.

Jangan malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya, karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?

Sebab di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?

Ibu tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.

Aku selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati. Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot, sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.

Ibu memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan nyata.

Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.

Bagus, Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan, seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!

Salah! Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa, tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti juga kamu.
O ya?

Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang, berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara, beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta, pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain, punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal. Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru, bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?

Seorang laki-laki sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat, karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.

Apa yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya? Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum, memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.

Ahhhhhhh, gumannya terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu, Ibu?

Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?

Karena aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku, menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya, aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.

Apa salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?

Ya. Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya. Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu, tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.

Kamu terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja. Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar, dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!

Tidak cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.

Perempuan muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar kamar.

Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit. Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?

Banyak laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!

Perempuan muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.

Dan lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku, dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***

Cerpen Sebuah Jalan

Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.

Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.

Ia urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan mengukur kemampuannya bertahan.

Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.

Ia mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.

Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah yang terasa pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.

Pandangannya terus menyorot ke kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.

Ia mengetatkan dan menaikkan kerah jaketnya mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning, kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan. Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.

Ia dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya. Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante Noah di kamar.

Ia tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.

Batang rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.

Seperti yang dilakukannya saat hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?" tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni," jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan sentimentil, Roni."

Mereka sudah cukup lama berhubungan. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun, mengobrolkan entah apa dengannya.

"Kenapa kamu memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" perempuan itu balik bertanya.
"Pengin dengar ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang tuamu, kukira."

Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang kebenciannya pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.

"Itu yang membuat kamu memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, mengubahnya menjadi vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena kebenciannya pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah di mana.

"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana ia juga tidak perlu tahu sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni sungguh-sungguh.

"Aku laki-laki, bukankah kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku gembira. Tapi tidakkah ini …"

Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.

Dengan percaya diri ia menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.

Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.

"Siapa kamu?" tanya tante Noah yang menjaga mama. Ia tak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante Noah memanggilnya, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.

Ia menelan ludah. Lamat didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas tanpa menoleh ke arahnya.

Bertahun-tahun ia tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante Noah ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.

Ia memejamkan matanya, berusaha membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lain yang menyeretnya ke tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Roni dengan penari bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaannya berdebar kencang saat memijit tombol lift.

Di kamar yang dituju ia hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman, "Lupakan Roni, atau ujung belati ini merobek jantungmu."

Ia melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia melihat Roni sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Mulai malam ini, jangan campuri urusanku, waria haram jadah!"

Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat. Ia menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu dibantingnya di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya, mencekiknya, menampar kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.

Malam sudah melewati separuh perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi. Ia memintanya tidak mengikuti dirinya. "Pergilah, Santi, jangan ikuti aku. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."

Hatinya bagai teriris melihat punggung karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggiringnya ke penjara.***